Undang Undang Wabah Penyakit Menular Versus Hak Pasien

Opini
Covid19

Pulang Paksa Pasien COVID-19 Dikatakan Melanggar Aturan Tentang Wabah, Benarkah?

Ketika Undang-Undang Wabah Penyakit Menular Berbentur Dengan Undang Undang Rumah Sakit Tentang Hak Pasien

PALEMBANG, KABARKATA COM-Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini merupakan jenis baru yang belum pernah diidentifikasi pada manusia. Virus ini menular melalui percikan dahak (droplet) dari saluran pernapasan, misalnya ketika berada di ruang tertutup yang ramai dengan sirkulasi udara yang kurang baik atau kontak langsung dengan droplet.

Demam, batuk, dan sesak napas merupakan gejala umum infeksi COVID-19 yang diawali dengan masa inkubasi rata-rata 5 sampai dengan 6 hari. Pada infeksi yang berat akan menimbulkan komplikasi pneumonia, sindroma pernafasan akut, gagal ginjal, hingga kematian.

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden tersebut menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dan menetapkan KKM COVID-19 di Indonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

COVID-19 bisa menyerang siapa saja. Menurut data yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia, jumlah kasus terkonfirmasi positif semakin meningkat. Untuk wilayah Provinsi Sumatera Selatan sendiri per tanggal 12 Desember 2020 didapatkan 10.226 total kasus. Dimana angka tersebut dapat lebih besar dikarenakan terdapat beberapa kasus suspek COVID-19 yang menolak untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan lanjutan.

Adapun beberapa kasus pasien suspek COVID-19 maupun terkonfirmasi positif COVID-19 yang menolak untuk dirawat di Rumah Sakit mereka minta pulang paksa karena beberapa alasan, seperti merasa sudah tidak tahan di rumah sakit, atau takut efek ketakutan yang disebabkan stigma negatif penderita COVID-19.

Pada bulan Juli 2020 pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan mengeluarkan panduan untuk kriteria terbaru kasus COVID-19 yang terdiri dari kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi.

Kasus suspek apabila seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.

Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable COVID-19.

Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.

Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) dan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).

Prinsip dasar upaya penanggulangan COVID-19 bertumpu pada penemuan kasus suspek/probable (find), yang dilanjutkan dengan upaya untuk isolasi (isolate) dan pemeriksaan laboratorium (test). Ketika hasil test RT-PCR positif dan pasien dinyatakan sebagai kasus konfirmasi, maka tindakan selanjutnya adalah pemberian terapi sesuai dengan protokol.

Hingga saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler sebagai goldstandar untuk pasien dugaan COVID-19. Pemeriksaan yang dimaksud seperti swab PCR ataupun swab TCM. Untuk rapid test sendiri tidak digunakan sebagai diagnosis, tetapi digunakan skrining pada populasi spesifik atau pada situasi khusus. WHO merekomendasikan penggunaan Rapid Test sebatas penelitian epidemiologi dan penelitian lainnya.

Salah satu permasalahan yang timbul di rumah sakit saat ini yang sering timbul dimana pasien yang sudah didiagnosa dengan kasus suspek menunggu beberapa hari hasil swab PCR, sehingga menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran karena harus ditempatkan di ruangan isolasi sehingga tidak sedikit yang melakukan tindakan pulang paksa atas permintaan sendiri.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk tidak membawa pulang paksa jenazah Covid-19. Tindakan tersebut bisa dikategorikan tindak pidana, didenda dan juga membahayakan keluarga serta orang lain. Tindakan jemput paksa pasien COVID-19 ini melanggar Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, tindakan ini membuat dinas kesehatan harus melakukan tracing terhadap keluarga pasien, agar tidak terjadi klaster baru.

Namun ada beberapa orang beranggapan bahwa pasien juga memiliki hak untuk menolak tindakan medis. Jika dilihat dari sudut pandang tentang Hak Pasien, telah diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit pasien mempunyai haknya tersendiri.

Tetapi dalam dalam hal rumah sakit juga berhak atas atas kesehatan pasien pasien. Apabilah pasien COVID-19 ini tidak berkenan menuruti prosedur pemeriksaan kesehatan, maka pasien dapat dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-UndangNo. 4 tahun. 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang mengatur: Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Disini butuh peran aktif kita sebagai masyarakat bukan hanya bertumpu kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia. Masyarakat diharapkan tidak memberikan stigma negatif apabila mengetahui ada tetangga yang telah terkonfirmasi COVID-19 ataupun baru dinyatakan suspek dan tidak menolak untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan ataupun bahkan perawatan.

Pemerintah diharapkan menyediakan dan memberikan pelayanan yang cepat dan berstandar yang berhubungan dalam menentukan diagnosa. Seperti menambah fasilitas swab PCR yang ada di masing-masing daerah dengan waktu tunggu hasil yang singkat. Dengan demikian kasus yang suspek akan cepat mendapat kepastian.

Penulis : Wahyudi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Mahasiswa Magister
Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya