SUMSEL MASIH DARURAT BENCANA EKOLOGIS HARI BUMI Ke-51

News
HARI BUMI Ke-51 , Provininsi sumatera selatan , SUMSEL MASIH DARURAT BENCANA EKOLOGIS

Palembang,KABARKATA.COM- 22 April 2021 Memperingati Hari Bumi sedunia jatuh setiap tanggal 22 April, untuk mengingatkan kembali kesadaran kepada manusia planet Bumi menjaga, merawat dan bertanggung jawab atas bumi yang dihuni. Pada momen Hari Bumi ke-51 dengan mengusung tema “Sumsel Masih Darurat Bencana Ekologis” organisasi pencinta alam, organisasi mahasiswa, komunitas dan penggiat lingkungan, serta masyarakat yang memiliki kesadaran terhadap pelestarian lingkungan hidup mengingatkan kembali bahwa Bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Berdasarkan catatan WALHI Sumatera Selatan 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa, perubahan bentang alam yang terjadi di Sumatera Selatan mengakibatkan bencana-bencana ekologis.

Sumatera Selatan dikuasai izin korporasi yang sangat besar mulai dari Hutan Tanaman Industri atau
Kebun Kayu sebesar 1.564.493 Ha, Perkebunan : 1.313.094 Ha , Pertambangan : 675.830 ha dan dikuasai oleh Negara sebesar 1.700.104 Ha. Dengan luas Sumatera Selatan 91.592,43 km2 dan jumlah penduduk 8.467.432 jiwa (BPS Provinsi Sumsel 2021), artinya luasan wilayah kelola rakyat rata-rata/jiwa memiliki luasan hanya 0,4 Ha untuk tiap jiwanya. Berbanding terbalik dengan luas korporasi-korporasi yang ada, yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Hal ini mengakibatkan banyak sekali konflik-konflik agraria yang terjadi. Tercatat selama
2020 masih ada ± 20 konflik agraria yang terjadi di Sumatera Selatan. Antara lain konflik Dusun Cawang Gumilir VS PT. Musi Hutan Persada (penggusuran), Desa Belanti VS 4 Perusahaan Sawit “PT. Waringin Agro Jaya, PT. Rambang Agro Jaya, PT. Gading Cempaka Graha, dan PT. Kelantan Sakti” (perubahan bentang alam), Desa Jerambah Rengas dan Desa Lebung Hitam VS PT. Bintang Harapan Palma (masuknya izin perkebunan sawit baru) , Desa Pagar Batu VS PT. Artha Prigel (4 petani menjadi korban, 2 meninggal dan 2 luka berat) dan ratusan ibu-ibu desa Gunung Kembang Kecamatan Merapi Timur Kabupaten Lahat melakukan aksi hadang angkutan Batubara yang melintas dari jalan lintas Lahat – Muara Enim. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan pembangunan yang dilakukan di Pulau Kemaro yang hanya berlandaskan logika proyek tanpa ada studi lanjutan mengenai dampak terhadap lingkungan ke depan. Ruang-ruang yang tersisa harusnya dapat dimanfaatkan bagi publik justru terancam diprivatisasi.
Bukan hanya konflik agraria saja yang terjadi akibat masifnya wilayah korporasi di Sumsel. Tercatat ada 20 kasus harimau menyerang manusia di wilayah Pagaralam, Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ulu dikarenakan ekspansi industri pertambangan, perkebunan serta eksploitasi panas bumi di kawasan tersebut. Kemudian 6 kasus buaya menyerang manusia di Desa Sungsang IV Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin akibat pembukaan lahan besar-besaran Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) serta 5 kasus gajah menyerang manusia di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang disebabkan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Perubahan bentang alam yang masif di Sumatera Selatan sudah memberikan dampak-dampak yang luar biasa dirasakan. Bencana Ekologis Kebakaran Hutan dan Lahan dari tahun 2015 – 2020 dengan total luas 1.012.674,97 Ha menyisakan dampak dan kerugian besar negara. Ironisnya, penegakan hukum terhadap penjahat lingkungan atau korporasi-korporasi melanggar aturan sampai sekarang belum terselesaikan. Akan tetapi, petanipetani kecil yang membuka lahan hanya kurang dari 1 Ha ditangkap dan diadili.

BPBD Sumatera Selatan juga mencatat terjadi 6 kali bencana hidrometrologi di seluruh wilayah Sumsel.
Sebanyak dua kecamatan terdampak di Empat Lawang, 10 Kecamatan di Pagaralam serta lima Kecamatan di Lahat. Enam kali bencana ekologis banjir dan longsor tersebut menyebabkan 12 Unit jembatan rusak, delapan rumah warga hanyut, 45 rumah rusak berat, 702 rumah rusak ringan, serta 166 unit rumah terendam air. Tentu saja kejadian ini bukan hanya di sebabkan oleh hujan lebat saja tetapi hilangnya tutup lahan di wilayah-wilayah ini. Tercatat selama tahun 2015 – 2019 sebesar 90.976,9 Ha hilangnya tutupan lahan di Sumatera Selatan.

Di tengah krisis ekologis melanda, masyarakat juga dihadapkan dengan persoalan wabah COVID-19 (corona virus disease 2019) yang memporak-porandakan sendi perekonomian masyarakat Sumatera Selatan. Dengan situasi seperti ini, pemerintah dan wakil rakyat seharusnya berkonsentrasi mengatasi wabah COVID-19 bukan mengesahkan kebijakan baru Omnimbus Law Cipta Kerja. Undang-undang ini jelas-jelas mengancam kelestarian lingkungan hidup seperti penghapusan izin lingkungan. Termasuk aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang di dalamnya mengubah sembilan peraturan pemerintah lain yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. PP No.101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3). Salah satu peraturan pemerintah yang terdampak dari PP No.22/2021 ini adalah dalam Lampiran XIV dari PP No.22/2021 ini, beberapa limbah B3 dikategorikan menjadi limbah non-B3, seperti FABA (fly ash dan bottom ash) PLTU batu bara, SBE (spent bleach earth) industri minyak nabati/hewani, slag peleburan besi, slag peleburan nikel. Ditengah wabah COVID-19 pemerintah malah membuat kebijakan yang meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3 bukanya fokus terhadap mengatasi wabah COVID-19. Serta karena terjadinya wabah COVID-19 ini Sumatera Selatan mengalami krisis pangan, pemecatan pekerja-pekerja dan buruh.
Dari catatan-catatan fakta diatas Hari Bumi ke-51 dengan mengusung tema “Sumsel Masih Darurat Bencana Ekologis” WALHI SUMSEL, DESK DISASTER WALHI SUMSEL, FSPASS, Spora Institute, Solidaritas Perempuan, GEMAPALA WIGWAM, HIMPALA DHARMAPALA CHAKTI, MASOPALA – UNSRI, MAFESRIPALA, BRIMPALS, MABIDAR, MAPALA CHIKARA BHUANA, MAPATRI, WAMAPALA GEMPA, MAPALA SABAK, KPA BELANTARA, MAPALA UIN RADEN FATAH, MAPALA WARIS, MAPALA AGRAPANA, KPA GEMPAS, PAJARPALA, KPA BEST, KPA ELANG BERSAUDARA, KPAB QUOVADIST, KPG SUMSEL, K9 TEAM, KPA BELUKAR, KPA JELAJA, HIMSIF BINA DARMA, XR PALEMBANG, KPA J’PARAS DAN PANCE HUB, serta MASYARAKAT SIPIL menyatakan sikap :

1. Mendesak Negara khususnya pemerintah Sumatera Selatan untuk melakukan pemulihan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat khususnya di Sumatera Selatan.

2. Selesaikan konflik agraria sebagai prasyarat pelaksanaan Reforma Agraria.
3. Hentikan praktik pemindahan paksa, penggusuran, dan perampasan tanah rakyat yang mengatasnamakan pembangunan. Justru pemerintah harus segera cabut izin konsesi yang menyebabkan bencana ekologis dan konflik berkepanjangan.

4. Melakukan peninjauan ulang seluruh perizinan HTI berdasarkan kriteria lokasi areal kerja di ekosistem gambut, konflik tenurial, kejadian Karhutla dan kepatuhan terhadap kewajiban izin dan daya dukung dan tampung lingkungan hidup;
5. Melakukan audit kepatuhan terhadap seluruh perizinan HTI dan menjatuhkan sanksi tegas hingga pencabutan izin terhadap perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan hidup;

6. Melakukan evaluasi dan monitoring izin lingkungan terhadap perkebunan-perkebunan sawit di Sumatera Selatan.
7. Mendesak pemerintah Sumatera Selatan menghentikan pembangunan PLTU dan beralih menggunakan energi yang adil dan lestari agar terjaminnya hak atas lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat.

8. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada lagi proses pembangun di Sumatera Selatan dilakukan tanpa ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Bukan hanya sebagai dokumen persyaratan saja, tetapi harus melihat secara garis besar kesatuan ekologis di wilayah tersebut.

9. Hentikan konsep food estate untuk mengatasi krisis pangan karena sudah terbukti gagal secara global pada tahun 2008. Pemerintah wajib mempercayakan kepada petani karena memiliki kekuatan resiliensi dalam mitigasi krisis pangan. Termasuk hentikan bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani, perempuan, masyarakat adat, dan masyarakat miskin di pedesaan maupun perkotaan yang memperjuangkan haknya atas tanah dan pangan.