Papa-Ua ”Permata Hitam Yang Membara”

Opini
Denres , Papa-Ua , Papua , Tanah Papua

kabarkata.com – Provinsi paling Timur Indonesia ini selalu menarik untuk dipelajari, karena sejarah militer, keberagaman kultur, seni, realitas politik terlebih Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki, sehingga wajar saja menjadi sorotan tajam mata elit politik dalam negeri maupun asing terlebih mata Si-Paman Sam. Secara historis sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 nama Papua Tenggelam dalam lumpur kubangun galian Freepot lalu tergerus bersama bongkahan mas, uranium, tembaga, nikel dan lain. Rezim waktu itu memberikan realitas baru bagi GEOPOLITIK dan STRATEGIC wilayah yang bergandengan dengan PAPUA NEW GUENIA itu sebagai IRIAN JAYA. Lalu 1 Januari 2000 Gus Dur (Presiden ke-4 RI) di Markas Kodam XVII/Trikora mengembalikan Nama IRIAN JAYA dengan nama PAPUA.

Historis
Pulau terbesar pertama di Indonesia dan pulau terbesar kedua dunia ini memiliki banyak nama lain dalam sejarah, yaitu : Labadios, Tungki, Janggi, Dwi Panta, Samudranta (Ujung Samudera atau Ujung Lautan), Wanin, Sram, lalu pada tahun 1646 kerajaan Tidore memberi nama Pulau dan Penduduknya Papa-ua, yang berubah sebutan Papua. Dalam bahasa Tidore Papua berarti Tidak bergabung atau tidak bersatu (Not Integrated). Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Pada tahun 1528 Pelaut spanyol Alvaro De Savedra memberi nama Papua Isla De Oro atau Island Of Gold Berarti Pulau Emas.
Lalu pada tahun 1545, Pelaut Spanyol Inigo Ortiz De Retes memberi nama Nueva Guinee yang dalam Bahasa Ingris berarti New Guinea, karena masyarakat di pulau ini memiliki ciri-ciri sama dengan masyarakat di Guenea, Pulau Afrika. New Guinea bisa berarti Afrika Baru. Nama New Guinea nertahan sekitar 3 Abad lamanya dalam peta dunia sejak abad 16 – abad 19.
Pada Tahun 1956 Belanda mengubah nama Papua dari sebutan Nieuw Guinea menjadi Nederland Nieuw Guinea. Langkah politis belanda mengubah nama baru ini karena belanda tidak mau kehilangan Papua dari tangan Indonesia.

Dipelopori oleh salah satu pahlawan asal tanah Papua Frans Kaisepo mengambil sebuaah nama dalam mitos Manseren Koreri, sebuah Legenda masyarakat Biak, yaitu IRIAN. Dalam bahasa Biak Numfor Irian berasal dari kata IRI berarti TANAH dan AN berarti PANAS, berbeda degan bahasa MARAUKE berasal dari kata IRI berarti DITRMPATKAN atau DIANGKAT TINGGI dan AN berate BANGSA, Jadi IRIAN berarti BANGSA YANG DIANGKAT TINGGI.
Dalam sebuah Pidato politiknya Frans Kaisepo pernah mengatakan “ Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis juga mengandung semangat perjuangan : IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nedherland” (Buku PEPERA 1969 terbitan 1972)

Realitas
Gelombang Reformasi 1998 lalu lahirlah UU Otonomi Daerah dengan filosofi awal untuk percepatan dan pemerataan pembangunan yang berkeadilan dan merata. Lalu melalui UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua, Pada pasal 76 dimana kewenangan untuk menentukan pemekaran wilayah melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP). Sebagaimana kita ketahui bahwa saai ini Papua sudah dimekarkan menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Pemekaran ini tentu sangat beralasan mengingat begitu luas Provinsi Papua semuala, sehingga diharapkan untuk memperpendek rentang kendali, memudahkan pelayanan publik, distribusi pembangunan, distribusi kekuasaan, dan sebagainya.

Namun nampaknya pemberian otonomi khusus dan pemekaran menjadi dua Provinsi di tanah cendrawasih ini masih belum mampu mensejahterakan dan memakmurkan TORANG PUNYA SODARA di Papua, justru menyisakan banyak persoalan dan tidak menyurutkan langkah sebagian OKNUM masyarakat tanah papua menuntut CERAI dari Indonesia.
Puncaknya ketika hiruk pikuk Ibu anak negeri sedang sibuk mempersiapkan hajat besar untuk mengenang kelahiran Bunda PERTIWI yang ke 74, hanya bermula dari persoalan di Asrama mahasiswa Papua di Surabaya, tidak bijaknya beberaapa oknum ormas, oknum aparat, oknum kepala daerah yang gampang terpancing mengeluarkan ucapan bernada rasis menyulut ketersinggungan mahasiswa dibeberapa daerah dan menyebar disegala kelompok masyarakat yang berasal dari rumpun Melanesia ini.

Akibat dampak kemajuan sarana Informasi sehingga menyebar keseantero negeri tak terkecuali Tanah Papua, sehingga menyulut aksi simpatik yang berakhir kerusuhan dan huru hara di banyak tempat. Gayung bersambut TERIAKAN LANTANG untuk meminta referendum dan KIBARAN BENDERA BINTANG KEJORA dibanyak tempat termasuk di depan Istana sebagai simbol negara tanpa canggung dan malu di pertontonkan oleh Oknum SODARA PAPUA.

TPN OPM
Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) didirikan pada tahun 1965 dengan tujuan untuk melepaskan diri dari Indonesia. Gerakan ini menyadari betul bahwa gerakan bersenjata tidak akan mampu untuk memenangkan pertempuran dan bisa merdeka dari Indonesia, sehingga TPN-OPM mengubah pola gerakan dengan membagi ke dalam 4 kelompok/ faksi :
1. Perjuangan Diplomasi
Menyadari kekuatan senjata sangat sulit bahkan mustahil untuk bisa merdeka, TPN-OPM menyiapkan kader muda untuk bisa sekolah tinggi dan akhirnya mencari suaka keluar negeri. Kelompok Intelektual ini aktif melakukan lobi dan diplomasi Internasional menggalang dukungan dan simpati dunia. Serta bergabung dalam asosiasi kulit hitam dunia. Serta telah mendapat dukungan konress Paman Sam.
2. Gerakan Bersenjata
Gerakan bersenjata atau sering disebut KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) gerakan di bentuk hanya untuk mengacaukan situasi dan untuk menunjukan eksistensi gerakan semata bukan untuk memenangkan pertempuran.
3. Organisasi Mahasiswa/Kepemudaan
Diakui atau tidak banyak OKNUM mahasiswa Papua baik yang kuliah di Tanah Papua atau di pulau-pulau lain seperti di Sulawesi, Kalimantan, Jawa dsb banyak yang simpatik dg gerakan TPN-OPM terbukti beberapa kali aksi demontrasi di bulan agustus 2019 ini secara terang-terangan oknum mahasiswa asal Papua mengibarkan bendera, mencat tubuh mereka dengan bendera BINTANG KEJORA. Tugas kelompok ini memainkan isu dan menggiring opini Publik. Isu Rasial menjadi bahan bakar mengobarkan semangat perlawanan kelompok muda ini.
4. Politik Praktis
Untuk mendapatkan perhatian lebih tentu sangat diuntungkan dengan situasi Papua hari ini, Pemberian otonomi khusus yang sudah dilaksanakan tidak membuat surut langkah-langkah politik Oknum politisi Papua untuk memainkan peranya. Walau tidak secara langsung bicara referendum, tetapi terkadang menyikapi situasi yang memanas dengan isu Rasial, Kesenjangan pembangunan, HAM dan sebagainya. Isu isu yang lagi memanas sangat menguntungkan bagi Oknum Politisi asal Papua untuk menekan Jakarta.

Solusi
Menyikapi memanasnya suhu politik di Tanah Papua, penulis memliki beberapa pendapat Pribadi, antara :
1. Pemerintah harus tegas terhadap siapapun yang menyebabkan kerusuhan, mau mahasiswa/masyarakat Papua, Oknum Ormas, Oknum Aparat, Oknum Kepala Daerah yang buat pernyataan Propokatif. Terlebih tindakan makar mengibarkan bendera Bintang Kejora diberbagai daerah terlebih di depan istana Negara. Hal ini penting untuk menjaga Marwah dan Wibawa pemerintah.
2. Tarik dan Kembalikan Lenis Kogoya dari Istana Ke Papua, hal ini penting sebagai bentuk keadilan supaya tidak terkesan bahwa Cuma Kepala Suku Papua yang bisa berkantor di Istana.
3. Tinjau ulang UU Otonomi Khusus Papua, dengan mengikut sertakan Stake-Holder yang ada. Hal ini penting. Mengingat masih banyak kelompok/faksi yang tidak puas dan tetap memintah Referendum untuk merdeka. UU Otonomi Khusus Papua ini bisa jadi pemantik di belahan lain nusantara. Seolah ada anak emas, ada anak kandung dan ada anak tiri dalam pengelolaan keuangan maupun distribusi kekuasaan.
4. Kalau Otonomi Daerah masih menyisakan ketidak puasan banyak daerah, mengapa tidak Indonesia berubah dalam bentuk Negara Federal. Beri kewenangan daerah termasuk papua untuk bisa mengelola Sumber Daya Alam dan kemandirian lebih dalam memajukan daerahnya masing-masing.
5. Penulis mendukung Rencana Pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan sebagai niat baik agar ada DISTRIBUTION OF POWER, DISTRIBUTION OF JUSTICE, dan mengurai benang kusut persoalan Jakarta demi menjaga agar Indonesia tidak hilang dari Peta Dunia.

Kesimpulan
Tentu sebagai anak bangsa kita berharap Papua tidak lepas dari genggaman tangan Ibu pertiwi. Berbagai kejadian kejadian yang menimpa di negeri ini semoga menjadi bahan kajian pemerintah untuk mengambil tindakan yang bijak untuk meredam gejolak yang terjadi dan Papua maupun Indonesia secara umum mampu besejajar dengan dengan Negara-negara maju Dunia di masa yang akan datang.

Sumber pustaka
1. Papua barat dalam realitas politik, Drs. J. E. Josie, m. Si., M. Th.
2.google

Penulis : Denres, SP Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mercu Buana Jogjakarta Pemerhati Sosial Politik Musi Banyuasin