UMKM Kita Terhempas Di Tengah Pandemi
*Fenomena Memburuknya Gejala UMKM
*Kembalikan Gairah si Mikro Kita
Palembang, kabarkata.com – Wabah corona menghantam berbagai sendi perekonomian. Penyebaran virus yang mengharuskan aktivitas manusia dilakukan secara social distancing (jarak sosial) dan dalam kadar ekstrem melakukan langkah lockdown akan berdampak pada perlambatan aktivitas ekonomi (supply and demand). Risiko terganggunya sektor ekonomi yang dapat terjadi sewaktu-waktu harus mulai disadari oleh pemerintah dengan memetakan potensi sub-sektor yang terdampak dan pengambilan alternatif kebijakan yang tepat.
Afandi Mulya Kesuma SE, Ketua Lembaga Sumatera Selatan Sejahtera (LSSS) kepada awak Media menyampaikan, Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi salah satu sub-sektor yang harus mendapat perhatian karena peran sentral dalam menopang perekonomian di Indonesia. Sekitar 90% tenaga kerja terserap pada sektor ini dan kontribusinya terhadap PDB sebesar 60%. Jika dirupiahkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional Indonesia di tahun 2018 dapat dikatakan cukup besar dengan nilai sebesar Rp 8.400 Triliun.
”Semenjak wabah corona merebak di Indonesia dalam satu bulan terakhir, UMKM menjadi salah satu sub-sektor yang terdampak secara signifikan terutama untuk usaha berskala mikro. Penyebaran virus corona akan menghantam UMKM yang selama ini menopang aktivitas sektor pariwisata terutama yang berkaitan dengan makanan, minuman, serta usaha kerajinan olahan lainnya,” disampaikan Afandi di Sekretariat LSSS, Jumat 5 Juni 2020. Dia menerangkan, bahwa lingkup UMKM yang bergerak pada jenis usaha makanan dan minuman mikro yang terdampak berada di kisaran 27%. Sementara itu, untuk usaha makanan dan minuman berskala kecil terdampak sekitar 1,77%, sedangkan usaha berskala menengah terdampak cukup minim karena hanya berpresentasI sekitar 0,07%. Selain itu, UMKM yang menggeluti usaha kerajinan berbahan dasar kayu dan rotan juga akan terdampak cukup signifikan. Sekitar 17,03% usaha mereka akan mengalami dampak langsung akibat pandemi. Gejala akan dampak negatif corona terhadap UMKM pelan-pelan mendekati kenyataan.
Kementerian Koperasi dan UMKM merilis data aduan 1.332 UMKM yang tersebar di 18 provinsi mendapatkan dampak negatif akibat penyebaran virus corona. Dari jumlah tersebut, sekitar 917 UMKM (69%) mengalami penurunan omset penjualan. Selain itu, sekitar 119 UMKM (9%) mengalami kesulitan distribusi barang produksi. Sekitar 179 UMKM (13%) mengalami kesulitan dalam akses terhadap modal usaha. Bahkan terdapat sekitar 50 UMKM (4%) yang mengalami penurunan produksinya secara drastis hingga tidak melanjutkan produksi untuk sementara waktu.
Meskipun belum merepresentasikan keseluruhan kondisi UMKM di Indonesia yang berjumlah di kisaran 59-62 juta usaha, kondisi UMKM yang tersebar di 18 provinsi dapat menjadi sampel atas kondisi secara menyeluruh bahwa UMKM di Indonesia mengalami tekanan yang cukup hebat karena adanya wabah tersebut. ”Gejala memburuknya kondisi UMKM di Indonesia akibat pandemi ini sebenarnya bisa diantisipasi secara cepat.
Mengingat, fenomena memburuknya UMKM juga dialami oleh negara lain dan memiliki kecenderungan persoalan yang sama dengan Indonesia,” sebut Afandi. Kajian OECD (2020) yang bertajuk Covid-19: SME Policy Response memperlihatkan bagaimana UMKM di berbagai negara harus mengalami beragam tekanan seperti pada sisi penawaran yang mengalami gangguan akibat risiko pekerja yang terjangkit corona. Kemudian terdapat pekerja yang berfokus pada anak-anak mereka karena sekolah ditutup. Lalu penerapan social distancingpara pekerja mengganggu aktivitas produksi dan distribusi produk UMKM. Belum lagi distribusi pasokan barang mentah untuk produksi UMKM juga tersendat akibat pemberlakuan penutupan wilayah dan pengurangan aktivitas pengiriman barang. ”Ya jelas. Dari sisi permintaan, UMKM secara drastis mengalami penurunan dari para konsumen. Akibat wabah, para konsumen mengalami kondisi psikologis takut tertular penyakit sehingga mengurung diri di dalam rumah. Kondisi tersebut tentunya akan berdampak pada penurunan pendapatan yang secara tidak langsung mengurangi pengeluaran dan pola konsumsi mereka,” ungkap lelaki berkacamata minus ini. Penyebaran virus juga mengganggu UMKM yang beroperasi lintas batas atau antarnegara karena pasokan barang mentah untuk produksi yang bersumber dari luar negeri mengalami gangguan karena blokade dan pengurangan aktivitas transportasi regional di lingkup darat, laut, dan udara. “Selain itu, permintaan produk UMKM secara global juga mengalami penurunan terutama yang berkaitan dengan sektor pariwisata karena kunjungan ke berbagai destinasi wisata mengalami penurunan secara drastis,” katanya. Risiko terhempasnya UMKM akibat pandemi virus corona membutuhkan intervensi pemerintah berupa kebijakan yang tepat, cepat, dan akurat.
Bentuk intervensi pertama yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan bantuan kredit dalam skala besar kepada UMKM yang terdampak corona. Mekanisme pemberian kemudahan dan relaksasi kredit dapat diberikan oleh lembaga perbankan konvensional hingga fintech. ”Beberapa poin utama skema restrukturisasi kredit untuk UMKM antara lain seperti penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, penundaan pembayaran pokok atau bunga, serta penambahan fasilitas kredit atau pembiayaan,” dia menguraikan. Financial technology (fintech) menjadi alternatif selanjutnya dalam memberikan bantuan keuangan kepada UMKM Indonesia yang terdampak corona. Kajian dari Huang et.al (2020) bertajuk Saving China from The Coronavirus and Economic Meltdown: Experiences and Lessons memberikan sebuah gambaran tentang peran penting fintech dalam memberikan sokongan finansial bagi UMKM di China dalam menghadapi pandemi corona. Pengalaman dari negeri tirai bambu tersebut dapat diadopsi dan direplikasikan untuk persoalan UMKM dalam negeri kita karena mengalami kendala yang hampir serupa.
Fintech sebagai lembaga pemberi sokongan kredit secara daring kepada UMKM memiliki beberapa keunggulan dan memberi kemudahan bagi banyak UMKM di China dalam beberapa bulan terakhir seperti (1) pemantauan debitur yang dapat dilakukan secara real time dengan sarana big data, blockchain finance dan berbagai teknologi lainnya; (2) fintech mampu memberikan pelayanan tanpa hambatan geografis sehingga mampu menjangkau UMKM secara luas; (3) fintech memiliki kapasitas untuk memberikan bantuan secara online dan jarak jauh sehingga mengurangi resiko terjangkit epidemi. Bentuk intervensi kedua yang dapat dilakukan adalah dengan mengimplementasikan program bantuan khusus hingga membuka pasar baru bagi UMKM. Dalam situasi yang cukup mendesak ini, Kementerian Koperasi dan UMKM serta beberapa lembaga pemerintah terkait perlu mencari banyak referensi kebijakan untuk UMKM dari pengalaman negara lain yang juga menghadapi kasus yang serupa dengan Indonesia. Riset OECD (2020) memaparkan pengalaman negara di Amerika Serikat dalam memberikan jaring pengaman kepada UMKM dengan mengimplementasikan program khusus “program pinjaman khusus untuk bencana” bagi UMKM. Pemerintah Indonesia dapat mengadopsi langkah ini dengan menyiapkan anggaran khusus yang bersumber dari negara untuk kemudian disalurkan kepada usaha mikro,kecil dan menengah yang tengah tertekan karena pandemi. “Program selanjutnya yang bisa diadopsi adalah langkah pemerintah Korea Selatan dan Belgia dengan mencarikan pasar baru dan mendorong UMKM untuk mengambil ceruk pasar online,” disampaikannya.
Ketiga, pemerintah perlu membuat langkah alternatif dengan melakukan kemitraan bersama UMKM melalui produksi alat pelindung diri (APD) bagi para tenaga kesehatan. UMKM konveksi yang selama ini memproduksi pakaian mengalami penurunan omset yang cukup signifikan karena pendemi corona. “Salah satu upaya untuk mengembalikan lagi gairah bisnis UMKM konveksi adalah dengan melakukan kerjasam untuk memproduksi alat pelindung diri (APD) yang digunakan oleh tenaga kesehatan dalam menangani pasien virus corona,” ujarnya. (Rs Djafar)