Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Menolak Kenaikan Iuran BPJS
Jakarta, kabarkata.com – Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Wahida Baharuddin Upa, menyatakan bahwasanya Program Jaminan Kesehatan Nasional sejak awal sudah bermasalah. Layanan jaminan sosial kesehatan seharusnya dikelola penuh oleh kementerian kesehatan (baca: Negara), bukan model asuransi yang jelas-jelas mencari keuntungan.
“Jaminan sosial dalam bentuk Jaminan Kesehatan Nasional bukan program yang baru. Sebelum program JKN, ada program ASKESKIN yang pelaksanaanya dilakukan oleh Asuransi Kesehatan atau ASKES,” ungkapnya saat Konfrensi Pers usai aksi di Jakarta (04/09).
Kemudian, karena ada kasus korupsi berdasarkan temuan Kemenkes di masa Menkes Ibu Siti Fadilah Supari, diganti lagi menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS). Kemudian berubah lagi di tahun 2014 menjadi JKN dibawah pengelolaan asuransi besar seperi, ASKES dan JAMSOSTEK.
Tetapi ternyata program JKN yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan mengalami masalah defisit. Tidak tanggung-tanggung, defisit BPJS Kesehatan sampai akhir agustus 2019 mencapai 14 Triliun, bahkan diprediksi akan mencapai 32,84 Triliun. Inilah alasan utama pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi PBI maupun peserta Mandiri. Defisit ini tidak terjadi sekali tetapi berkali-kali.
Berikut data yang kami himpun dari media:
2014 3,3 trilyun
2015 5,7 trilyun
2016 9,7 trilyun
2017 9,75 trilyun
2018 16,5 trilyun
2019 Prediksi 32,84 trilyun
Jika melihat tabel di atas maka defisit terjadi setiap tahun sejak program ini dilaksanakan.
Lanjut Wahida, pemerintah telah melakukan upaya Penyertaan Modal Negara sejak tahun 2015 sebesar 5 Triliun, pada tahun 2016 sebesar 6,9 T, lalu ditahun 2017 sebesar 3,7 T, dan setahun yang lalu di 2018 sebesar 10,25 T, jumlah yang sangat menakjubkan.
Pertanyaannya kemudian, apakah cukup langkah yang dilakukan pemerintah dengan terus menerus menyuntikkan modal bagi BPJS tanpa ada upaya audit dan evaluasi terhadap kinerja BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program?
Defisit BPJS Kesehatan seharusnya tidak lagi menjadi beban APBN, yang juga selalu defisit dan selalu ditalangi dengan Hutang Luar Negeri. Sebab, ini akan menjadi malapetaka bom waktu di kemudian hari. Sudah saatnya bagi pemerintah melakukan evaluasi terhadap sistem BPJS dan melakukan audit keuangan secara menyeluruh, mulai dari tingkat layanan faskes hingga pada tindakan rujukan.
Jika belajar dari program JAMKESMAS yang anggarannya tidak lebih dari 8,6 T di tahun 2014, yang malah terdapat dana sisa yang dikembalikan pada kas Negara, maka seharusnya sistem Jaminan Kesehatan saat ini menjadi jauh lebih baik, bukan malah menjadi lebih buruk, bahkan memberikan beban tambahan pada APBN kita setiap tahunnya.
Ironisnya, ketika BPJS mengalami defisit, Direksi dan Dewan Pengawasnya justru menikmati kenaikan gaji dua kali lipat. Lebih parah lagi, bukannya mengevaluasi program BPJS dan mengaudit lembaganya, pemerintah justru mengalihkan beban defisit itu ke rakyat (peserta mandiri) dan APBN.
Selain itu, setiap defisit BPJS selalu disertai pengurangan jenis layanan perawatan. Akibatnya, masyarakat kesulitan mengakses pengobatan jenis tertentu. Sementara upaya perbaikan layanan kita masih jauh tertinggal jika dibandingkan negara-negara lain, seperti negara-negara tetangga maupun negeri miskin seperti Kuba.
Wahida menambahkan, Konstitusi kita menegaskan bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap Warga Negara. Karena itu, tidak boleh ada satu pun Warga Negara yang terintangi haknya mendapat layanan kesehatan hanya karena faktor biaya dan lain-lain.
Oleh karena itu, kami dari Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Tolak Kenaikan Iuran PBJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
2. Evaluasi Sistem BPJS
3. Audit Penyelenggaran Jaminan Kesehatan Nasional
4. Tolak Sistem Layanan Kesehatan Berasuransi
5. Kembalikan Sistem Jaminan Kesehatan pada Program JAMKESMAS yang dikelola langsung oleh negara. (fan/Rilis Nasional)